Hukum Perayaan Tahun Baru : Antara Hari Raya Dan 'Ied
Dalam bahasa hadis
Nabi, ada dua istilah untuk menyebut hari raya atau hari besar. Pertama
menggunakan istilah ‘id (عيد), dan kedua menggunakan istilah yaum (يوم).
Istilah id misalnya
terdapat dalam hadis tentang Idul fitri dan Idul Adha, bulan Ramadhan dan Dzul
Hijjah, serta hari jumat.
يا أيها الناس إن هذا يوم قد اجتمع لكم فيه عيدان (رواه البخاري)
Sedangkat
istilah yaum, misalnya terdapat dalam hadis tentang puasa Asyura
dan hari-hari besar lainnya.
قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ
وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « صُومُوهُ أَنْتُمْ » (رواه
مسلم)
“Hari Asyura dulu
adalah hari besarnya orang Yahudi. Mereka menjadikannya sebagai ‘id (perayaan
rutin). Silakan kalian puasa pada hari raya tersebut.” (HR. Muslim)
Hari besar atau
hari raya adalah didasarkan pada peristiwa yang tidak berulang. Misalnya,
kemenangan Nabi Musa a.s atas Firaun. Kejadiannya hanya satu kali, tidak
terulang. Namun dirayakan berulang-ulang. Berbeda dengan hari raya yang
berarti ‘id, kejadiannya memang sellau berulang. Hari makan
setelah puasa sebulan penuh adalah berulang dan sama setiap tahunnya.
Baik id maupun yaum,
dalam Bahasa Indonesia keduanya adalah hari besar, hari raya. Bahkan, juga
dikenal istilah lebaran yang berasal dari bahasa Jawa lebar (usai,
selesai). Dalam bahasa Arab, secara kebahasaan, hari raya yang identik dengan
perayaan disebut ihtifal (احتفال). Meski demikian, penerjemahan kata ‘id dengan
hari besar atau hari raya adalah tetap dapat diterima, karena telah menjadi
lumrah diketahui bersama esensi dan tujuannya (li katsratil isti’mal).
Tinggal sekarang,
dasar pemaknaan yang dipakai apa? Jika dasar pemaknaannya adalah hakikat dan makna (al-‘ibrah
bil haqaiq wal ma’ani), maka tentu berbeda antara antara ‘id dengan
hari besar atau hari raya. Sedangkan jika dasar penggunaannya adalah
penamaan (al-‘ibrah bil musammayat), maka keduanya tidak
masalah untuk disamakan.
Disebut lebaran
karena selesai menjalankan ibadah besar, yaitu puasa sebulan penuh dan zakat
fitri. Sementara itu disebut lebaran idul Adha, karena selesai (lebar) dari
ibadah besar wukuf di Arafah bagi Jamaah haji, atau selesai melalui hari
terbaik, yaitu sembilan hari pertama bulan Zulhijah. Tentu keduanya secara
makna kebahasaan memiliki perbedaan, namun secara esensi memiliki kesamaan.
Masing-masing dirayakan.
Hanya saja, ada
hal yang menarik dalam penggunaannya dalam hadis Nabi. Kenapa dibedakan?
‘Id secara bahasa adalah kembali, berulang, terulang. Ia
disebut ‘id karena kebahagiaan yang berulang-ulang (farah
mujaddad) setiap tahun. Para ahli bahasa, di antaranya
Ibnu Manzhur (630-711 H) dan Abu Manshur al-Harawi menegaskan ada dua versi
mengenai akar kata ‘id.
Pendapat pertama, ‘id berasal dari kata ‘adah (kebiasaan,
tradisi). Ini karena ‘Id merupakan tradisi, kebiasaan suatu
komunitas masyarakat. Pendapat ini yang kemudian menjadi dasar penyamaan
antara ‘id dengan hari raya atau hari besar. Semuanya
merupakan tradisi perayaan.
Pendapat kedua, berasal dari kata ‘awdah yang berarti kembali.
Kata ‘id sendiri meruapakan satu bentuk dangan ‘ida (عيد), bentuk pasif dari
kata kerja ‘ada (عاد), yang berarti dikembalikan. Pendapat kedua ini yang kemudian
menjadi dasar bagi ‘id yang berarti kembali, terulang.
Dengan demikian,
kata ‘aidin (عائدين) yang biasa digunakan untuk bertegur sapa dengan sesama (minal
a’idin wal fa’izin), berarti selamat berhari raya atau selamat berlebaran. Jika
mengacu pendapat pertama. Tidak diartikan “selamat kembali,” yang
kemudian menimbulkan multi tasfir dan polemik tak berguna dengan pertanyaan sanggahan,
“kembali kemana?” Sedangkan jika mengacu kepada pendapat kedua, minal
a’idin berarti selamat kembali makan. Selamat telah kembali berbahagia
di tahun ini.
Al-Qadli ‘Iyadl
(476-544 H) dalam kitabnya, Masyariqul Anwar, menegaskan bahwa
disebut ‘id karena waktunya kembali (يعود ويتكرر لأوقاته). Hari orang-orang yang kembali berbahagia (يعود به الفرح على الناس). Senada dengan itu, Badruddin ‘Aini (762-855 H)) menyatakan,
disebut ‘id karena hari tersebut kembali, berulang setiap
tahun (li annahu ya’udu kulla sanah).
Baca: Hukum Merayakan Ulang Tahun
Baca: Hukum Merayakan Ulang Tahun
Ibnu Taimiyah (661-728 H) mendefinisikan ‘id sebagai nama bagi kembalinya tradisi perkumpulan raya (اسم لما يعود من الاجتماع العام على وجه معتاد). Sama namun lebih rinci dari itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) menjelaskan bahwa ‘id biasa digunakan untuk menyebut tempat dan juga waktu. Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah, dan tempat-tempat mulia lainnya adalah ‘id (tepat tempat berkumpul dan kembalinya orang-orang untuk ibadah maupun keperluan lainnya) untuk orang-orang yang hanif.
Sedangkan jika
digunakan untuk menunjuk waktu, maka berarti hari-hari raya untuk berkumpul dan
berbahagian bersama.
Dari uraian di
atas, tahun baru, HUT RI, Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan hari-hari besar
lainnya juga dapat disebut sebagai hari raya yang patut disyukuri dan boleh
dirayakan sebagai sebuah tradisi, sebagaimana definisi ‘id menurut
Ibnu Taimiyah.
Apalagi jika
menggunakan perspektif kata yaum yang digunakan Nabi untuk
menganjurkan orang-orang Muslim asli Madinah merayakan hari besar mereka dengan
puasa Ayusra (صوموه أنتم) atau menggunakan pesan ayat Qs. Ibrahim: 5,
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ
لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Dan ingatkanlah
mereka pada hari-hari Allah, karena didalamnya terdapat tanda-tanda untuk orang
setiap orang yang banyak sabar dan syukur.”
Dalam riwayat
Muslim (204-261 H), Asyura’ bukan termasuk ‘id, melainkan
salah satu hari besar (yaumun min ayyamillah). Umat Islam saat
itu diizinkan merayakannya dengan puasa bersama, namun tidak wajib.
إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ
صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه مسلم)
إِنَّ هَذَا يَوْمٌ كَانَ يَصُومُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ فَمَنْ
أَحَبَّ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتْرُكَهُ
فَلْيَتْرُكْهُ (رواه مسلم)
Hari-hari
Allah (yaum/ ayyamillah) adalah hari-hari bersejarah, baik itu
sejarah kelam maupun sejarah kemenangan. Hari besar itulah yang mengandung
pelajaran berharga untuk menjadi bersabar atas suatu kekelaman, juga bersyukur
atas kebahagiaan.